
MOJOKERTO, Panturapos.com | Rapat mediasi antara warga RT 02 RW 02 Desa Trowulan, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto, dengan pihak pengelola pabrik pengolahan batok kelapa CV Inti Sari Kelapa, berakhir tanpa kesepakatan. Pertemuan yang digelar di Balai Desa Trowulan pada Kamis, 25 September 2025, berlangsung panas dan diwarnai adu argumen antara warga dan pihak pabrik.
Mediasi yang difasilitasi oleh pemerintah desa bertujuan merespons keluhan warga terkait dampak lingkungan dari aktivitas produksi pabrik, seperti bau menyengat, lalu lintas kendaraan berat, dan dugaan pencemaran sumber air sumur. Namun, kehadiran sejumlah karyawan pabrik yang bukan berasal dari desa setempat justru memicu ketegangan.
“Kami yang terdampak tidak diberi ruang bicara, malah buruh dari luar desa yang ikut duduk di forum. Ini mediasi atau rapat internal pabrik?” ujar salah satu warga dengan nada kesal.
Warga menyatakan bahwa sejak awal berdiri, CV Inti Sari Kelapa belum memenuhi syarat lingkungan dan perizinan. Hingga saat ini, pabrik tersebut hanya memiliki Izin Mendirikan Bangunan (IMB), sementara izin lingkungan dan operasional belum rampung.
Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Mojokerto yang turut hadir dalam mediasi menyebut bahwa sanksi administratif akan dijatuhkan kepada pihak pabrik. Namun, ketika ditanya mengenai kemungkinan sanksi pidana atau pencabutan izin, pihak DLH enggan memberikan keterangan lebih lanjut.
Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, pelaku usaha yang melakukan kegiatan tanpa izin lingkungan dapat dikenai sanksi administratif berupa teguran tertulis, penghentian sementara kegiatan, hingga pencabutan izin. Jika terbukti menyebabkan pencemaran atau kerusakan lingkungan, pelaku dapat dijerat pidana penjara hingga 10 tahun dan denda maksimal Rp10 miliar (Pasal 98 dan 99 UU PPLH).
Warga juga mengungkapkan bahwa meskipun papan larangan aktivitas sementara telah dipasang oleh tim gabungan dari DLH, Satpol PP, dan Dinas Perizinan, kegiatan produksi di dalam pabrik masih berlangsung. Hal ini dinilai sebagai bentuk pelanggaran terhadap instruksi penghentian sementara.
“Sudah jelas dilarang, tapi mereka tetap beroperasi. Kami merasa dilecehkan,” kata salah satu warga terdampak.
Dalam mediasi yang berlangsung alot, warga bersikukuh menuntut agar pabrik ditutup total atau dipindahkan ke lokasi lain yang tidak berdampak langsung pada pemukiman. Mereka juga menyoroti sikap aparatur desa yang dinilai lebih berpihak kepada pengelola pabrik daripada kepada warga.
“Kami terganggu oleh bau, suara kendaraan, dan air sumur yang tercemar. Kepala desa pun tidak membela kami,” ujar perwakilan warga yang diamini peserta mediasi lainnya.
Hingga mediasi ditutup, tidak ada kesepakatan yang tercapai. Warga menyatakan akan segera melaporkan kasus ini ke pihak kepolisian dan menggugat secara hukum agar tuntutan mereka dipenuhi. [Mali]












