LAMONGAN, Panturapos.com | Dugaan pelanggaran administratif mencuat dari Desa Kebalandono, Kecamatan Babat, Kabupaten Lamongan, menyusul informasi bahwa salah satu perangkat desa, Sutari, diduga merangkap jabatan sebagai Kepala Dusun sekaligus Ketua Kelompok Tani (Poktan).
Temuan ini terungkap dalam investigasi lapangan yang dilakukan pada Jumat (29/8/2025). Upaya konfirmasi kepada pihak terkait belum membuahkan hasil. Kepala Desa Kebalandono, Dasrun, tidak berada di kediamannya saat didatangi, dan belum memberikan tanggapan atas panggilan telepon maupun pesan singkat. Sutari pun tidak ditemukan di rumah maupun di kantor desa.
Tim kemudian menyambangi Kantor Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) Kecamatan Babat, namun tidak berhasil bertemu dengan pejabat yang berwenang. Sebagai alternatif, tim mendatangi kediaman Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) Desa Kebalandono, Hima, di Desa Pucakwangi.
Hima menyatakan bahwa nama Sutari sudah tidak lagi tercantum dalam struktur Poktan. Namun, data yang diperoleh dari Kecamatan Babat menunjukkan sebaliknya—nama Sutari masih tercatat sebagai Ketua Poktan aktif. “SK kepengurusan Poktan diterbitkan oleh kepala desa, jadi tanggung jawab administratif sepenuhnya ada di pemerintah desa,” ujar Hima.
Sementara itu, PPL Kecamatan Babat, Yus, menyebut bahwa rangkap jabatan diperbolehkan dan mencontohkan praktik serupa di Kecamatan Bluluk dan Modo. Namun, saat diminta menyebutkan dasar hukum yang memperbolehkan hal tersebut, Yus tidak dapat memberikan penjelasan yang pasti.
Merujuk pada Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, khususnya Pasal 51, disebutkan bahwa perangkat desa dilarang merangkap jabatan yang dapat menimbulkan konflik kepentingan atau menguntungkan diri sendiri maupun kelompok tertentu. Larangan ini diperkuat oleh Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 83 Tahun 2015 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Perangkat Desa, yang menyatakan bahwa perangkat desa tidak boleh merangkap jabatan sebagai pengurus organisasi yang menerima anggaran dari sumber keuangan yang sama, seperti dana desa atau APBN.
Jika terbukti melanggar, perangkat desa dapat dikenai sanksi administratif berupa: Teguran lisan, Teguran tertulis, Pemberhentian dari jabatan jika pelanggaran dianggap berat atau berulang
Praktik rangkap jabatan seperti yang diduga dilakukan oleh Sutari berpotensi mencederai prinsip transparansi dan akuntabilitas dalam tata kelola pemerintahan desa. Terlebih jika jabatan tersebut berkaitan dengan pengelolaan anggaran atau program bantuan yang bersumber dari dana desa maupun APBN. Hal ini dapat membuka celah penyalahgunaan wewenang dan pengambilan keputusan yang tidak objektif.
Kasus ini menyoroti pentingnya pengawasan terhadap struktur organisasi desa dan kelompok penerima manfaat. Pemerintah daerah, inspektorat, dan dinas terkait diharapkan segera melakukan klarifikasi dan audit internal agar tidak terjadi penyalahgunaan jabatan.
Masyarakat berhak mengetahui siapa yang memegang jabatan publik dan bagaimana jabatan tersebut dijalankan sesuai aturan. Sebab, transparansi bukan sekadar soal data, tetapi soal kepercayaan publik terhadap integritas pemerintahan desa. [Tim Red]