Jakarta, CNN Indonesia — Sejumlah akademisi dan organisasi lingkungan yang tergabung dalam Koalisi Maleh Dadi Segoro (MDS) menolak rencana pembangunan tanggul laut raksasa (giant sea wall) di Pantai Utara (Pantura) Jawa.
Koordinator MDS Martha Kumala Dewi mengatakan pembangunan giant sea wall bukan solusi yang tepat untuk mengatasi permasalahan banjir rob hingga ancaman tenggelam pesisir utara Jawa.
Menurutnya, pembangunan itu justru akan memperparah krisis sosial dan ekologi yang sudah ada saat ini.
“Koalisi Maleh Dadi Segoro menolak rencana tersebut. Tanggul laut raksasa melipatgandakan krisis Sosial-Ekologis Pantura Jawa,” kata Martha dalam keterangan tertulis Koalisi MDS, Kamis (11/1).
Martha menjelaskan sejumlah dampak negatif dari tanggul laut raksasa.
Pertama, tanggul laut akan mengkonsentrasikan pembangunan dan aktivitas ekonomi di Pantura Jawa. Menurut koalisi, itu kontraproduktif dengan kondisi ekologi Pantura Jawa yang mengalami amblesan tanah.
Ia menyebut pembangunan infrastruktur dan aktivitas ekonomi yang semakin padat pasti mendatangkan beban dan membutuhkan air. Saat ini kebutuhan akan air untuk rumah tangga dan industri di Pantura Jawa banyak dipenuhi melalui ekstraksi air-tanah-dalam.
“Jadi, konsentrasi ekonomi di Pantura Jawa yang datang bersama dengan tanggul laut akan semakin memperparah amblesan tanah melalui pembebanan fisik dan ekstraksi air-tanah-dalam yang akan semakin bertambah,” ujarnya.
Kedua, kata Martha, orientasi membangun tanggul laut mengalihkan perhatian dari usaha mengurangi terjadinya amblesan tanah.
Ketiga, tanggul laut seperti yang sudah berdiri pada proyek Tol Tanggul Laut Semarang Demak (TTLSD), menguntungkan orang yang kuat seperti kawasan industri yang diutamakan pengembangannya.
“Dan merugikan yang lemah seperti perkampungan nelayan karena semakin terpapar pada perubahan arus air laut yang menyebabkan abrasi pantai,” lanjutnya.
Keempat, Martha mengatakan tanggul laut menimbulkan ketimpangan geografis antara wilayah barat dan timur, antara wilayah daratan dan pesisir Pantura.
“Tanggul laut akan mengurangi dampak banjir di wilayah daratan, tapi merusak ekosistem di wilayah pesisir,” ujar dia.
Selain itu, wilayah Pantura bagian timur akan menerima resiko hempasan gelombang laut akibat beban pembangunan di wilayah Pantura bagian barat, terutama dalam kasus TTLSD.
Kelima, tanggul laut mempersempit dan menutup ruang tangkap nelayan. Keenam, tanggul laut mematikan mangrove dan ekosistem pesisir.
Ketujuh, tanggul laut memperparah banjir, karena air dari darat terkepung di belakang tanggul, seperti kasus yang terjadi di Kampung Tambak Lorok, Semarang.
“Dan tanggul laut menciptakan kesenjangan wilayah, antara perkotaan dan pedesaan, pembangunan terkonsentrasi di perkotaan,” kata Martha.
Saran alternatif atasi ancaman Pantura tenggelam
Martha mengatakan MDS selain mengamati, juga merumuskan beberapa alternatif solusi dari ancaman Pantura tenggelam total.
MDS mendorong analisis dan pendekatan segi-banyak terhadap kompleksitas permasalahan terkait-air (ekstraksi air tanah, amblesan tanah, rob, abrasi pantai, dan ekosistem pesisir) di Pantura Jawa.
“Ini artinya mendorong pemerintah keluar dari pendekatan segi-satu yang mewujud dalam solusi tanggul laut yang cenderung hanya mau mengatur agar air laut tidak membanjiri daratan,” ujarnya.
Martha menyebut pendekatan lain misalnya dari sisi manajemen air tanah agar ekstraksi air-tanah-dalam semakin dikurangi, agar laju amblesan semakin berkurang.
Dalam hal ekosistem pantai, kata Martha, hutan mangrove perlu ditumbuhkan kembali untuk menjadi pelindung alami, bukan justru direlokasi atau dihancurkan.
Ia mengungkapkan contoh nyata ada di Mangunharjo, Kecamatan Tugu, Kota Semarang. Di sana ada keluarga-keluarga yang menanam mangrove sejak tahun 2000-an hingga sekarang. Mangrove di sana sudah membentuk hutan-mangrove seluas 75 hektare.
Martha mengatakan manfaat yang dirasakan oleh warga adalah tidak adanya rob, memulihkan/memunculkan daratan baru, memukul mundur laut, dan menciptakan ekosistem baru sehingga nelayan mudah mendapat ikan.
“Pemerintah juga harus melakukan pembangunan yang berorientasi pada manusia, tidak hanya infrastruktur semata, akan mendorong kota menjadi lebih nyaman ditempati oleh semua golongan masyarakat,” katanya.
MDS terdiri dari Rujak Center for Urban Studies, Yayasan Amerta Air Indonesia, Sustainable Development Research Center at the Universitas Islam Sultan Agung (UNISSULA) Semarang, WALHI Jateng, dan LBH Semarang.
Kemudian ada juga DPD Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Semarang, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Legal Resource Center untuk Keadilan Jender dan Hak Asasi Manusia (LRC-KJHAM), Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air (KRuHA), Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI), Komunitas Pekakota, Ekologi Maritim Indonesia (EKOMARIN) dan Program Magister Lingkungan dan Perkotaan Unika Soegijapranata.
Sebelumnya, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, dan beberapa menteri Kabinet Indonesia Kerja membentuk gugus tugas pembangunan tanggul laut raksasa di sepanjang Pantura.
Sementara Menteri Pertahanan yang juga capres nomor 2 Prabowo Subianto meyakini pembangunan giant sea wall akan berdampak untuk jangka waktu yang lama.
Prabowo mengklaim pembangunan tanggul laut raksasa ini adalah jawaban terkait fenomena naiknya permukaan air laut hingga hilangnya sejumlah pulau di Indonesia.
“Ini masalah bukan apakah bisa atau tidak bisa, ini harus, kalau tidak pantai utara tenggelam,” kata Prabowo di Jakarta Pusat, Rabu (10/1)